top of page
Search

Mata Najwa vs Shattered Glass, Kisah Wawancara Imajiner.

Writer's picture: Rio Prawira OctavieriRio Prawira Octavieri

Poster film Shattered Glass (Sumber: Buzzfeed.com)

Wawancara imajiner, suatu istilah yang beberapa waktu terakhir kerap menjadi sorotan publik. Hal ini disebatkan oleh adanya video dari program Mata Najwa yang mewawancarai sebuah kursi kosong seakan-akan terdapat Bapak Terawan duduk di kursi tersebut. Dengan adanya metode tersebut, ramai diperbincangkan di media sosial, termasuk Twitter dan sempat menjadi trending.


Berdasarkan dari kata imajiner, wawancara imajiner merupakan suatu cara atau teknik dimana pewawancara melakukan wawancara dengan seseorang namun narasumber atau seseorang tersebut tidak nyata adanya, melainkan hanya ada di imajinasi pewawancara. Biasanya wawancara ini dilakukan ketika pewawancara menyajikan jawaban yang sekiranya dapat sesuai dengan jawaban dari narasumber.


Apakah teknik wawancara tersebut diperbolehkan? Tentu saja bisa dilakukan, namun tidak berarti semua kegiatan wawancara dapat menggunakan teknik wawancara imajiner. Wawancara imajiner ini bisa digunakan kepada benda mati seperti suatu artikel yang dipublikasikan oleh medanbisnisdaily.com dengan judul artikel “Wawancara Imajiner dengan Mr Corona”. Selain itu, juga terdapat suatu artikel yang menggunakan teknik wawancara imajiner kepada orang yang sudah meninggal, seperti artikel yang diterbitkan oleh indonews.id dengan judul artikel “Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Nobel untuk Jokowi-Prabowo”. Dari kedua contoh tersebut, terdapat salah satu syarat artikel dari wawancara imajiner, yakni menuliskan “Wawancara Imajiner” di bagian judulnya, sehingga public tidak akan termakan begitu saja dengan isi dari berita tersebut seperti meyakini bahwa memang pernah dilakukan wawancara tersebut.


Seperti yang sudah disinggungkan pada paragraph awal, bahwa Najwa Shihab dianggap melakukan teknik wawancara imajiner ini pada program Mata Najwa dengan kursi kosong Pak Terawan dengan judul #MataNajwaMenantiTerawan yang diunggah oleh Narasi pada tanggal 28 September 2020 kemarin. Pada tayangan tersebut, nampak bahwa Najwa Shihab melakukan sebuah wawancara dengan kursi kosong yang seharusnya diisi oleh Pak Terawan. Najwa Shihab melemparkan berbagai pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana Menteri Kesehatan Republik Indonesia menanggapi kasus Covid-19 yang sampai saat ini datanya masih terus mengalami peningkatan.


Pada teknik wawancara tersebut juga mendapatkan kecaman, seperti dari Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, yakni Silvia Devi Soembarto. Menurutnya, wawancara tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap Presiden RI, yakni Pak Joko Widodo. Silvia melaporkan hal ini kepada pihak kepolisian, namun ditolak karena menurut kepolisian hal ini hanya sebagai bentuk ketidaknyamanan dengan kemasan wawancara yang dilakukan oleh Najwa Shihab.


Menanggapi hal tersebut, Najwa Shihab pun mengatakan bahwa ide tersebut bukanlah ide yang baru, di negara dengan tradisi demokrasi dan debat yang lebih panjang dan kuat, misalnya Inggris atau Amerika, menghadirkan bangku kosong yang mestinya diisi oleh para pejabat public sudah menjadi hal yang biasa.


Menurut saya, hal yang dilakukan oleh Najwa Shihab itu berbeda dengan format wawancara imajiner. Saat itu, Najwa Shihab hanya melontarkan pertanyaan tanpa dia memberikan jawaban sebagaimana bentuk dari wawancara imajiner semestinya. Dapat dilihat di dalam video tersebut bahwa Najwa Shihab tidak mengarang atau membuat jawaban fiktir seperti sedang atau sudah berdialog dengan Pak Terawan. Kemudian Pak Terawan juga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kapan saja, dan bisa juga dimana saja. Maka, saya merasa untuk kasus Mata Najwa ini bukan bagian dari Wawancara Imajiner.


Berbeda halnya dengan apa yang dilakukan peran utama pada film Shattered Glass. Pada film tersebut menceritakan seorang jurnalis yang sangat terkenal dan dihormati oleh rekan-rekannya. Film yang disutradarai oleh Billy Ray tersebut bermula dengan diceritakan bagaimana ramah dan sifat positif yang dimiliki oleh Stephen Glass, seorang jurnalis di media cetak New Republic. New Republic sendiri merupakan salah satu media cetak (koran) yang terkenal, dimana perusahaan tersebut membahas mengenai politik. Film ini berlatar belakang pada tahun 1998.


Kejanggalan mulai dirasakan ketika editor dari New Republic diganti oleh Chuck, dan dengan tulisan Stephen Glass yang berjudul “Heaven Hacker”. Hal itu ditemukan oleh penulis dari Forbes Adam Penenberg. Adam menemukan banyak sekali fakta-fakta yang tidak sesuai pada tulisan tersebut. Setelah diteliti, ternyata artikel Glass “Heaven Hacker” tersebut sama sekali tidak terjadi dan tidak benar.


Pada akhirnya Chuck mencari tahu dan menanyai Stephen terkait fakta-fakta tulisan tersebut. Pada akhirnya ketahuan lah bahwa Stephen Glass melakukan wawancara bohongan yang disebut wawancara imajiner dan data-data bohong. Pada awalnya sangat sulit untuk menggeserkan atau memecat Stephen Glass karena didukung oleh rekan-rekannya, namun setelah diomongkan dengan salah satu rekannya, akhirnya banyak yang mendukung untuk mengundurkan Stephen Glass.


Inti dari film tersebut yakni menceritakan seorang penulis yang melakukan wawancara imajiner. Dimana seluruh hal yang ditulis oleh Stephen tidak benar adanya, melainkan hanya imajinasi – imajinasi yang dilakukan oleh Stephen itu sendiri. Seperti adanya perkumpulan hacker di suatu tempat yang kecil namun Stephen berbicara diikuti oleh banyak orang. Kemudian, diucapkan bahwa keluarga hacker tersebut makan malam bersama di suatu cafe yang sebenarnya di waktu tersebut café tersebut sudah tutup.


Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik sebuah perbandingan antara program Mata Najwa dan Shattered Glass. Pada Mata Najwa, teknik tersebut tidak termasuk ke dalam wawancara imajiner, karena tidak adanya disiapkan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontakan oleh Najwa Shihab kepada bangku kosong. Sementara pada film Shattered Glass, Stephen Glass benar-benar menuliskan semua imajinasinya kepada sebuah tulisan, bahkan tidak ada keterangan bahwa hal tersebut adalah hasil wawancara imajiner dan dikemas layaknya artikel berita biasa, hal ini menjadi bukti bahwa Stephen Glass melenceng dari bagaimana si wawancara imajiner tersebut.

0 views

Comments


  • LinkedIn
  • Twitter
  • Instagram

© 2023 by The Art of Food. Proudly created with Wix.com

bottom of page