![](https://static.wixstatic.com/media/458687_b77866a83f304d608688870d42b2da69~mv2.jpg/v1/fill/w_661,h_977,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/458687_b77866a83f304d608688870d42b2da69~mv2.jpg)
Purnama.
Memang indah ketika malam tiba.
Pancaran sinarnya menemani kegelapan.
Menemani para bintang bermain di luar angkasa sana.
Purnama.
Entah mengapa, aku terkagum akan sosokmu.
Walau memang engkau tidak memiliki apapun untuk disombongkan.
Namun,
Mengapa saat aku menjalani hari-hariku,
Engkau tidak ada disampingku?
Mengapa tidak ada diatas sana?
Mengapa kau digantikan oleh sang mentari?
Purnama.
Dimana kini engkau berada?
Pagi itu matahari menyorot langsung ke dalam kamar Alena disertai dengan rintik gerimis hujan. Jam menunjukkan pukul 06.30 dan saat itu pula jam tersebut melontarkan nyanyiannya. Alena terbangun, dan segera bersiap untuk berangkat ke kampusnya. Hari ini merupakan hari pertamanya untuk berkuliah, dan juga hari pertamanya bisa bertemu dengan teman-teman barunya. Selama mandi Alena bersenandung ria dengan lagu kesukaannya yang selalu ia nyanyikan di pagi hari yaitu “Manusia Kuat” dari Tulus. Entah mengapa, setiap kali Alena menyanyikan atau pun mendengarkan lagu ini, dapat membangun semangat yang membara dalam dirinya. Selain itu, Alena merasa hadirnya kehangatan.
Setelah sampai di kampus, Alena membuka telepon genggamnya, ia mencari sebuah nama yang telah berjanji dengannya untuk masuk ke kelas bersama. Alena memberitahukan temannya tersebut bahwa dia telah sampai di kampus, dan akan menunggu temannya di pelataran depan gedung B. Tak lama kemudian, ada seorang wanita yang menghampirinya.
“Alena ya?” Ucap gadis tersebut.
“Iya, ini Dhita bukan?” Tanya Alena memastikan.
“Iya, aku Dhita, yaudah yuk langsung masuk aja ke kelas, takut telat nih.” Ajak Dhita seraya menarik tangan Alena.
Waktu istirahat pun tiba, serta kebetulan Alena dan Dhita sesudah ini tidak ada lagi jadwal kelas. Dhita mengajak Alena untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta yang memang dekat dengan kampus mereka. Alena yang berasal dari luar kota pun akhirnya menyetujui ajakan tersebut. Namun, dengan syarat bahwa Alena ingin makan siang di kantin kampus saja, karena dia rasa merupakan sebuah kewajiban untuk menikmati bagaimana makanan yang berada di kantin kampusnya.
Setibanya di kantin kampus, Alena dan Dhita berencana untuk melihat-lihat terlebih dahulu dari ujung ke ujung untuk melihat ada makanan apa saja di kantin ini sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu. Ketika mereka sudah melihat seluruh isi kantin, mereka tampak kebingungan ingin membeli apa. Terdapat baso, soto, olahan ayam, dan lain sebagainya. Pada saat itu, ada seorang lelaki mengenakan setelan kemeja yang tidak dikancing berwarna biru tua, dipadukan kaos berwarna putih, dan jeans menghampirinya.
“Kamu maba ya?” Ucap si lelaki itu.
“Eh, iya kak.” Jawab Alena dengan sedikit terkejut.
“Pasti bingung kan mau beli apa? Nih aku kasih rekomendasi, coba beli sate ayamnya pak karto, sate itu terkenal enaknya di kantin ini.” Lelaki itu menunjuk ke arah tempat penjual sate tersebut.
“Oh gitu kak, oke deh, makasih banyak ya kak.” Alena mengangguk.
“Oh iya, boleh minta kontaknya? Nomor hp atau apapun itu.” Lelaki menyodorkan telepon genggamnya.
“Eh, buat apa ya kak?” Ucap Dhita.
“Tenang aja, gak akan diteror kok, tapi aku minta punya kamu aja ya.” Lelaki itu menatap mata Alena.
“Oh iya kak, ini ya kak.” Alena mengambil telepon lelaki itu, dan menuliskan id linenya.
“Oke, makasih ya” Lelaki itu memberikan senyumannya ke Alena dan bergegas meninggalkannya.
“IH SOMBONG BANGET SIH, lagian Alenaaa, ngapain kamu kasih sih?” Gerutu Dhita.
“Udah lah, baru maba gausah cari gara-gara sama kating.” Ucap Alena seraya berjalan menuju tempat penjual sate.
“Tapi kalo nanti kamu diapa-apain gimana? Kalo misalkan id line kamu disebarluaskan gimana?” Dhita khawatir.
“Udah tenang aja, gapapa kok.” Ucap Alena menenangkan.
“Pak paket sate ayamnya 1 ya.” Alena memesan makanan.
“2 deh pak, sama saya.” Dhita menyusul memesan.
Setelah memakan sate ayam yang sudah Alena dan Dhita pesan, mereka bergegas meninggalkan kantin, dan menuju ke pusat perbelanjaan. Selama di perjalanan Alena memikirkan lelaki yang baru ditemuinya tadi di kantin. Alena ingat bahwa dia belum mengetahui siapa sebenarnya lelaki itu, namanya siapa, dan kenapa dia minta kontaknya saja sementara kontak dari Dhita tidak diminta. Wajah dari lelaki itu pun entah mengapa langsung menempel di ingatan Alena, dan selalu terbayang ketika lelaki itu tersenyum padanya, sehingga tidak disadari dia terkadang tersenyum sendiri ketika mengingatnya.
Tak terasa, Alena tiba di kostnya saat hari sudah mukai gelap. Ketika ia selesai mandi, terdengar suara notifikasi dari handphonenya itu, dia berpikir mungkin itu hanya sekedar Dhita menanyakan apakah dirinya sudah sampai di kost. Ketika Alena meraih telepon genggamnya, Alena terkejut ketika melihat ada pesan dari seseorang yang bernama Rava Farel Pramudya. Dia kebingungan, siapa yang baru saja mengirimkan pesan kepada dirinya. Entah mengapa tiba-tiba saja wajah lelaki yang ia temui di kantin tadi muncul dipikirannya.
Alena membuka isi pesan tersebut, “halo, Alena ya? Pasti tau kan aku siapa?”. Alena membalasnya “ini kakak yang tadi di kantin itu kan?”. Tak lama kemudian lelaki yang bernama Rava itu langsung membalasnya “iya Alena:)” dengan emotikon senyumnya. Tak sadar bibir Alena membuat sebuah senyuman. Belum sempat membalasnya, sudah terdapat pesan dari Rava “malam ini lagi sibuk gak? Ketemu yuk, aku jemput di kostan deh”. Alena masih ragu untuk mengiyakannya. Kemudian dia membalas pesan tersebut “aduh kak, gabisa nih, paling kalo mau ngobrol di kampus aja dulu ya, hehe maaf kak.” Tak lama kemudian ada balasan dari Rava “oh yaudah gapapa, besok ketemu ya di kantin pas istirahat, aku tunggu di tempat duduk paling pojok ujung.” Alena pun menerima tawaran dari Rava.
Hari semakin malam, dan tepat pada malam itu bulan sedang bersinar terang dari biasanya. Alena menyempatkan dirinya untuk duduk di luar untuk menikmati bulan itu. Dan dia tiba-tiba memikirkan Rava. Rava memang memiliki wajah yang tampan, dan juga kulitnya yang sawo matang, membuatnya menjadi lebih manis. Alena terus mengingat wajah Rava sampai dia baru sadar, bahwa saat itu sudah waktunya untuk tidur. Alena pun memasuki kamarnya dan tertidur dengan lelap.
Keesokan harinya, Alena berangkat ke kampus dan langsung segera menuju kelas, Dhita telah menunggunya di dalam kelas. Alena langsung menghampiri sahabatnya tersebut, dan alena menceritakan bagaimana perasaannya kemarin malam saat dihubungi oleh Rava. Dhita dengan antusias mendengarkannya. Belum sempat Alena bercerita, dosen pun memasuki ruangan kelas itu, dan membuat Alena berhenti bercerita.
Waktu istirahat pun tiba, Alena langsung menarik tangan Dhita tanpa memberitahunya akan pergi kemana. Alena menjelaskan ke Dhita bahwa hari ini dia akan bertemu dengan Rava di kantin, dan meminta Dhita untuk menemaninya. Mereka pun tiba di kantin dan langsung menuju tempat duduk paling ujung. Terlihat lah seorang lelaki yang sudah tak asing lagi, iya itu Rava, namun dengan seorang lelaki lain yang mungkin itu temannya. Alena dan Dhita pun menghampirinya. Rava pun memperkenalkan temannya yang menemani dia selagi menunggu Alena datang. Laki-laki itu bernama Elno Gio, namun sering dipanggil Gio. Mereka berbincang-bincang di antara kerumunan kantin. Hingga akhirnya sudah jam 3 sore.
“Alena, aku duluan ya, soalnya ada kumpul kegiatan UKM nih.” Ucap Dhita
“UKM apa nih? Kebetulan aku juga mau ada kumpul UKM, siapa tau sama biar bareng aja.” Tanya Gio
“Teater kak.” Jawab Dhita
“Oh sama tuh, yaudah yuk bareng aja.” Tawar Gio
“Oh oke deh kak, Alena aku duluan ya, kak aku duluan ya.” Dhita seraya mengambil tasnya
“Eh, iya Dhit.” Jawab Alena
“Kamu ga pulang?” Tanya Rava ke Alena
“Pengennya sih pulang kak, mau langsung ngerjain tugas.” Jawab Alena
“Oh yaudah sini aku anterin aja.” Tawar Rava
Alena pulang diantarkan oleh Rava. Baru saja jalan beberapa meter Rava berbicara “Kaya ke tukang ojek aja” sambil menarik tangan Alena untuk berpegangan ke pinggang Rava dari belakang. Alena pun menurutinya, Alena merasa bahagia bisa kenal Rava, dan lagi-lagi Alena tersenyum.
Hari terus berganti, purnama dan mentari pun terus bergantian memancarkan keindahannya. Begitu pun Alena yang semakin dekat dengan Rava. Setiap hari Rava mengantar, menjemput, serta menemani Alena kemana pun ia pergi. Alena pun merasakan hal yang membuatnya nyaman kepada Rava, karena Rava selalu memberikan perhatiannya.
Hingga suatu hari, Alena dilabrak oleh kakak tingkatnya yang bernama Clarita di toilet wanita. Clarita ini merupakan gadis cantik dan populer di kampusnya. Clarita menyukai Rava hingga saat ini, dan ia tidak suka Rava malah dekat dengan Alena yang merupakan mahasiswa baru di kampus ini. Clarita dan teman-temannya menghina-hina Alena.
“HEH, LU TUH MABA YA, GAUSAH SOK CANTIK LAH.” Amarah Clarita.
“Kenapa ya kak?” Ucap Alena
“Alah, pura-pura gatau lu, lu itu maba, gausah deket-deket sama Rava, gua itu kating lu, lu ga ada hak buat bisa deket sama Rava. Rava itu gak cocok sama lu, cocoknya sama gua” Gerutu Clarita.
“Emangnya kakak punya hak ngelarang-larang aku? Nggak kan.” Jawab Alena tegas.
“Ngajak berantem lu ya.” Tantang Clarita.
Pada saat itu pun, Clarita dan teman-temannya melakukan kekerasan fisik kepada Alena. Rambut Alena yang indah ditarik dan digunting tak beraturan. Selain itu, Alena pun ditampar oleh Clarita. Alena ingin melawannya, dan kabur saja dari situ. Namun, apa daya, dirinya tak bisa melawan mereka yang bergerombolan lima orang. Alena hanya bisa berteriak dan meneteskan air matanya. Hingga akhirnya Clarita dan teman-temannya sudah puas dan meninggalkan Alena sendiri di toilet.
Alena hanya bisa menangis melihat dirinya seperti ini. Tak lama kemudian, pintu toilet dibuka dan terlihat wajah Dhita memasuki toilet. Dhita terkejut dengan keadaan Alena yang seperti itu. Dhita langsung menghampiri Alena dan bertanya-tanya kenapa dia bisa seperti ini. Alena pun menceritakan semua kejadiannya dengan isak tangis. Dhita membantu Alena berdiri, dan ikut mengantarnya pulang ke kost.
Keesokan harinya Alena tidak ikut perkuliahan, dia masih sedikit syok dan trauma atas hal yang menimpanya kemarin. Alena takut hal itu akan terjadi lagi. Alena hanya berani menceritakannya ke Dhita. Alena belum berani untuk berbicara ke Rava tentang apa yang dilakukan Clarita kemarin terhadap dirinya. Hingga saat ini, Alena hanya bisa menangis saat mengingat bagaimana kejadian kemarin yang menimpanya. Alena juga menangis setiap kali melihat rambut yang panjangnya kini hanya sebahu dengan potongan yang acak.
Pada saat di kampus, Dhita bertemu dengan Rava, Dhita menceritakan segala sesuatunya ke Rava mengenai Alena yang dilabrak oleh Clarita. Rava terlihat marah dan kasihan pada waktu yang bersamaan. Setelah Dhita menceritakan semuanya, Rava meninggalkan Dhita menuju sebuah koridor yang sepi. Rava kesal terhadap apa yang dilakukan Clarita, dan juga menyesal karena gara-gara dia Alena jadi seperti ini. Dia sudah menghindar selama 2 tahun terakhir dari Clarita, namun Clarita masih tetap saja mengganggu Rava bahkan sekarang Alena pun diganggu olehnya.
Setelah 1 minggu lamanya Alena memberanikan diri untuk tetap berkuliah, pada saat diperjalanan, Alena merasa pikiran terganggu, bagaimana jika Clarita muncul di hadapannya, bagaimana jika Clarita ada di belakangnya, mengikutinya, dan siap untuk menerkamnya. Tak terasa Alena berhasil berada di kampus saat ini, namun ada sesuatu yang mengganjal. Sosok Rava yang setiap hari selalu ada di hadapannya, kini wajah itu tidak ada di hadapannya. Pada waktu istirahat, Alena bergegas ke kantin dengan Dhita untuk mencari Rava yang setiap hari selalu ada di pojok kantin. Namun, hasilnya nihil, ia hanya bertemu dengan Gio.
“Kak, kak Rava ada dimana ya? Kok dari pagi aku gak ngeliat.” Tanya Alena khawatir
“Wah, gatau tuh, dari kemaren dia ngilang, gaada kabar.” Jawab Gio dengan melahap gorengan di tangannya.
“Oh gitu, yaudah deh, makasih banyak ya kak.” Ucap Alena lemas.
Alena bingung, kemana sebenarnya Rava, dia melamunkan sosok Rava hingga akhirnya dia tersadar oleh Dhita. Alena dan Dhita pun memesan makan, padahal Alena sedang tidak nafsu untuk makan, namun Dhita memaksanya untuk tetap makan. Akhirnya Alena pun memesan sate yang mempertemukan dirinya dengan Rava. Saat menyantap makanannya, tanpa disadari Alena meneteskan air mata.
Berbulan-bulan Rava menghilang dari Alena, pesan yang dikirimkan oleh Alena pun tidak dibalas bahkan tidak dibaca oleh Rava. Alena memikirkan apa yang salah dari dirinya hinga Rava menghilang dari kehidupannya.
Malam pun tiba, Alena menatapi bulan di halaman kostnya. Alena lagi-lagi meneteskan air matanya, ia selalu teringat bagaimana senyuman Rava, bagaimana saat Rava tertawa didepannya, bagaimana rasanya memeluk Rava saat diatas motor. Alena rindu Rava. Alena menatap sang rembulan, Alena berharap Rava bisa kembali ke hadapan Alena, bisa menemaninya lagi, bisa menemaninya disaat dia kesepian, bisa mendengarkan segala sesuatu yang dia ucapkan. Dimana kini engkau berada Rava?
Comentários